Praktek Adat Tawan Karang Sebagai Dalih Ekspedisi Militer Belanda Melakukan Ekspansi
ke Kerajaan Badung, 1904-1906

Petrus Haryo Sabtono
Makalah disampaikan dalam Perkuliahan Sejarah Lokal
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana

Dua tradisi yang cukup tua yang pernah diberlakukan dalam sistem kerajaan di Bali, adalah adat tawan karang dan adat mesatya. Adat tawan karang diberlakukan oleh kerajaan-kerajaan yang memiliki wilayah pantai, yaitu Buleleng, Karangasem, Tabanan, Badung, Jembrana dan Klungkung. Diantara kerajaan-kerajaan di Bali menyepakati berlakunya adat tawan karang apabila terjadi perahu karam atau terdampar di pantai: orang dan barang-barang beserta perahunya menjadi milik kerajaan yang memiliki pantai tersebut. Bagi pemilik perahu wajib menebus kepada kerajaan jika mereka ingin bebas, namun jika tidak mampu membayar tebusan, maka perahu beserta isinya menjadi hak milik kerajaan. Orang-orang penumpang perahu menjadi sitaan pula. Dari sini pula muncul perbudakan, karena mereka dijadikan budak-budak kerajaan yang boleh diperjual-belikan. Adat tradisi tawan karang berlaku sejak zaman kerajaan Bali abad ke-14. Kemudian dilanjutkan pada zaman kerajaan-kerajaan di Bali pada abad ke-17 sampai abad ke-19 dan dekade pertama abad ke-20.

Ketika pemerintahan Hindia Belanda di Batavia semakin ekstensif melaksanakan ideologi politik kolonialnya yang dikenal dengan “Nederlan Raya” (Pax Nederlandica), maka adat tawan karang sebagai tradisi kerajaan mulai terusik. Intervensi yang dilakukan oleh birokrasi kolonial dari Batavia terhadap kedaulatan raja-raja di Bali menuai ketegangan dan konflik yang menjadi peperangan terbuka antara tentara Belanda melawan laskar kerajaan (Nordholt, 2006: 252; Agung, 1989: 158-161; Utrecht, 1962: 173-174).

Intervensi yang menjadi penyebab dari ketegangan dan konflik antara negara kolonial dengan negara kerajaan yang paling awal adalah praktek adat tawan karang. Pemerintah Hindia Belanda dan bahkan hingga Pemerintah di Nederlan ikut campur terhadap praktek adat tawan karang yang dianut oleh raja-raja Bali dan Lombok. Oleh karena itu, upaya untuk menghapuskannya menjadi pekerjaan yang cukup berat bagi Gubernur Jenderal di Batavia. Hal ini menjadi semakin cepat direalisasikan karena telah terjadi praktek adat tawan karang oleh penduduk atau rakyat kerajaan Badung di pantai Tuban yang menita isi kapal Belanda “Overijssel” yang karam di pantai Tuban dekat dengan pulau Serangan pada tanggal 19 Juli 1841 (Utrecht, 1962: 173; Agung, 1989: 158). Akibat dari peritiwa karamnya kapal Belanda “Overijssel” yang disita atas dasar hak adat tawan karang menuai problem bagi Gubernur dan raja-raja di Bali.

Pemerintah Gubernemen di Batavia menganggap adat tawan karang tidak manusiawi. Sebaliknya raja-raja di Bali menganggap hal yang wajar dan sah sudah berlaku menjadi tradisi sejak berabad-abad. Upaya diplomatik terus menerus ditempuh hingga pada akhirnya membuahkan kontrak-kontrak politik yang disepakati oleh kedua belah pihak. Raja-raja Bali yang dipelopori oleh raja-raja di negara kerajaan Badung: Gusti Gede Ngurah Kesiman, Gusti Gede Ngurah Pemecutan dan Gusti Gede Ngurah Denpasar bersama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, P. Merkur bersepakat untuk menghentikan dan menghapuskan adat tawan karang. Demikian kontrak perjanjian ini (pasobaya) ditanda tangani di keraton (ring astana) Kesiman kerajaan Badung, Bali pada tanggal 28 Nopember 1842 (ANRI, 1964: 148).

Setelah raja-raja di negara kerajaan Badung, kontrak politik untuk menghentikan dan menghapuskan tradisi kerajaan adat tawan karang diikuti oleh raja-raja Bali lainnya. Raja Karangasem, Gusti Gede Ngurah Karangasem berjanji menghentikan adat tawan karang termaktub di istana negara kerajaan Karangasem pada tanggal 1 Mei 1843 (ANRI, 1964: 82). Raja Klungkung, Ratu Dewa Agung Putra menandatanganinya pada tanggal 24 Mei 1843 (ANRI, 1964: 7). Raja Tabanan, Gusti Ngurah Agung menandatanganinya pada tanggal 22 Juni 1843 (ANRI, 1964: 194).

Meskipun kontrak politik telah disepakati secara legal formal diatas kertas, namun dalam praktek sering terjadi pelanggaran yang mengakibatkan ketegangan, konflik dan bahkan menjadi perang. Pelanggaran yang terjadi di pantai Sangsit wilayah kerajaan Buleleng, yaitu perampasan terhadap perahu dari Makasar berbendera Belanda yang karam di pantai Sangsit. Di pantai Perancak Jembrana yang termasuk daerah kekuasaan kerajaan Buleleng, sebuah perahu mayang dari Banyuwangi berbendera Belanda dirampas oleh penduduk. Ketika terjadi perundingan antara Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor dengan Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem pada tanggal 8 Mei 1845 terjadi lagi praktek adat tawan karang. Di pantaii Karang Anyar di daerah kekuasaan kerajaan Karangasem, sebuah kapal dagang Belanda bernama “Atut Rachman” karam dan dirampas oleh penduduk.

Praktek tawan karang yang masih terjadi sangat sulit untuk dihentikan oleh raja-raha Bali meskipun sudah dihapuskan berdasarkan kontrak-kontrak yang ditandatangani. Tindakan penyitaan dan perampasan sebagai praktek adat tawan karang in menjadi penyebab meletusnya perang-perang perlawanan raja-raja Bali melawan ekspedisi militer Belanda. Tiga kali ekspedisi militer Belanda dilancarkan untuk menghadapi perlawanan raja dan rakyat Buleleng, Karangasem dan Klungkung, yaitu Perang Buleleng tahun 1846, Perang Jagaraga, tahun 1848 dan 1849, Perang Kusamba tahun 1849 (Agung, 1989: Bab IV). Perang Jagaraga telah mengakhiri kedaulatan raja-raja Buleleng, Karangasem dan Jembrana. Sebaliknya Perang Kusamba tidak mengakhiri kedaulatan kerajaan Klungkung. Namun ketiga perang kolonial tersebut diakhiri dengan perdamaian di Kuta Badung pada tanggal 13-15 Juli 1849 (Agung, 1989: 350-356). Raja Gianyar, Ratu Dewa Pahang berjanji dan menandatangani penghapusan dan menghentikan adat tawan karang di wilayah negara kerajaan Gianyar pada tanggal 13 Juli 1849 (ANRI, 1964: 222). Sebelumnya, dua raja Bali, yaitu Raja Bangli, Ratu Dewa Gede Tangkeban menandatangani kontrak menghapuskan adat tawan karang di wilayah kerajaan Bangli pada tanggal 25 Juni 1849 (ANRI, 1964: 260). Disusul oleh Raja Jembrana, Gusti Putu Ngurah Jembrana, menandatangani kontrak menghapus adat tawan karang di wilayah negara kerajaan Jembrana pada tangga 30 Juni 1849 (ANRI, 1964: 246-247). Kedelapan raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan menghapuskan adat tawan karang pada kontrak perdamaian Kuta.

Dalih praktek adat tawan karang untuk melancarkan ekspedisi militer Belanda yang kelima ke Bali, 10 September – 30 Oktober 1906 adalah menimpa negara kerajaan Badung (Agung, 1989: 499). Pada tanggal 27 Mei 1904, sebuah perahu wangkang bernama “Sri Komala”, milik seorang Cina bernama Kwee Tek Tjiang dari Banjarmasin mempunyai pas laut Hindia Belanda dan berlayar dibawah kibaran bendera Belanda, karam di pantai Sanur. Pemilik dan nahkoda segera melaporkan karamnya perahu kepada syahbandar pantai Sanur dan petugas ini segera melaporkan hal itu kepada punggawa Sanur. Punggawa segera memerintahkan agar diadakan penjagaan atas bangkai perahu itu oleh penduduk di sekitarnya. Ternyata bahwa bangkai perahu itu tidak dapat diselamatkan lagi, Punggawa memerintahkan untuk membongkarnya dan mengumpulkan semua rongsokan perahu itu di desa Biaung (Agung, 1989: 507-508).

Beberapa minggu kemudian, pemiliknya menghadap Residen Bali Lombok, J. Eschbach di Singaraja untuk melaporkan bahwa barang muatan dan uang (kepeng dan perak) berjumlah 3000 ringgit atau 7500 gulden dirampas oleh penduduk desa-desa yang terletak di sekitar pantai Sanur. Dengan perkembangan terakhir ini timbullah suatu perkara yang sangat pelik dan menjadi sengketa antara Raja Badung dengan pihak Pemerintah Gubernemen di Batavia (Agung, 1989: 500). Muncul pertanyaan benarkah terjadi perampasan isi perahu sebagai praktek adat tawan karang atau penyelamatan atas isi perahu? Ternyata karamnya perahu “Sri Komala” telah menyeret raja dan negara kerajaan Badung berhadapan dengan Gubernur Jenderal J.B. van Hentz (1905-1909), Kepala Pemerintahan negara kolonial Hindia Belanda di Batavia. Sejak karamnya perahu “Sri Komala”, ketegangan pun berawal dan menjadi sengketa dan konflik yang tidak bisa diselesaikan secara damai melalui perundingan. Akhirnya, konflik menjadi perang terbuka, perang kolonial, perang melawan kekuasaan kolonialisme Belanda yang menerapkan ideologi kolonial yang disebut Pax Nederlandica. Proses yang memakan waktu hingga dua tahun, sejak karamnya perahu “Sri Komala” tahun 1904 hingga meletusnya perang kolonial yang dikenal dengan nama Puputan Badung 1906 dijadikan obyek penelitian sejarah.

Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan copy dimana saja dan mohon kerelaannya untuk mencantumkan link berikut ini: https://abelpetrus.wordpress.com/history/adat-tawan-karang/

Daftar Pustaka

Agung, Ide Anak Agung Gde, Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989.

ANRI, Surat-surat Perdjandjian antara Kradjaan-keradjaan Bali/ Lombok dengan Pemerintah Hindia Belanda, 1841-1938. Djakarta: ANRI, 1964.

Ardhana, I Ketut. Kerajaan Badung dalam Konteks Kolonial Belanda, 1827-1906. Denpasar: Universitas Udayana.

Nordholt, Henk Schulte, The Spell of Power: sejarah politik Bali 1650-1940. Ida Bagus Putrayadnya (Penerjemah), . Bali: Pustaka Larasan, 2006.

Sirikan, Gora. Sejarah Bali. 1956.

Utrecht, E. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Bandung, 1962.

Leave a comment