“Dia selalu menyimpanmu di dalam doanya, merindukanmu dalam diamnya,” ucap wanita itu dengan lembut.
“Aku mengerti,” balas pria itu, suaranya tenang namun datar.
“Tapi dalam kesunyianmu, tidak ada ruang untuk dia, bukan?” wanita itu bertanya lagi, suaranya mengandung keberanian yang rapuh.
Pria itu hanya diam, tertunduk, membiarkan hening menyampaikan apa yang tak mampu diungkapkan oleh kata-kata.


Ia masih menyimpanmu dalam doanya

Di sudut kota yang penuh cerita, dua hati bertemu dalam siluet senja yang merona. “Dia selalu menyimpanmu di dalam doanya, merindukanmu dalam diamnya,” bisik wanita itu, suaranya lembut bagai dedaunan yang berbisik diterpa angin malam. Kata-katanya adalah jembatan yang dia harapkan dapat menyambungkan dua dunia yang terpisah oleh dinding-dinding tak terlihat, dinding yang dibangun dari ketakutan, keraguan, dan kesunyian yang mendalam.

“Aku mengerti,” jawab pria itu, nada suaranya tenang namun datar, seperti danau yang tenang di permukaan namun penuh arus kuat di kedalamannya. Ada perjuangan dalam diamnya, pertempuran antara keinginan untuk membuka hati dan ketakutan akan rasa sakit yang mungkin datang bersama dengan pengakuan itu. “Tapi dalam kesunyianmu, tidak ada ruang untuk dia, bukan?” wanita itu bertanya lagi, suaranya mengandung keberanian yang rapuh, seperti cahaya lilin yang berkelap-kelip menantang badai.

Pria itu hanya diam, tertunduk, membiarkan hening menyampaikan apa yang tak mampu diungkapkan oleh kata-kata. Dalam kesunyiannya, dia berjuang dengan kenyataan bahwa hatinya telah menjadi benteng yang terlalu kokoh, dimana cahaya pun sulit menembus. Namun, dalam diam tersebut, tercipta ruang bagi pemahaman yang lebih dalam—bahwa cinta sejati tidak selalu tentang memiliki atau diperjuangkan, melainkan terkadang tentang membiarkan pergi dengan harapan bahwa di suatu tempat, dalam kesunyian yang sama, cinta itu akan menemukan jalan kembali, lebih kuat dan lebih bijak.

#ruangsempitimajinasi, 040424