Pada bulan Januari 2020 awal semester 2 tahun pelajaran 2019-2020, desas-desus COVID-19 telah melintas di linimasa media sosial maupun media mainstream lainnya bahwa virus ini telah sampai di Indonesia. Kekhawatiran rekan-rekan guru di tempatku bekerja mulai menghantui diriku pula, khawatir tertular virus yang membahayakan kesehatan diri dan keluarga tercinta di rumah. Di samping itu, ada kekhawatiran lain yang sangat menghantuiku sebagai guru, bagaimana cara mengajar dan mendidik, sementara siswa-siswi ada di rumah masing-masing dan aku ada di sekolah?

Dua bulan telah berlalu, media sosial dan portal-portal berita semakin ramai mengabarkan meningkatnya korban yang terpapar virus corona. Hingga pada bulan Maret 2020 kekhawatiran itu seketika menjadi phobia. Sekolah tempatku bekerja, mendadak meminta siswa-siswi untuk pulang di pagi hari ketika mereka baru saja tiba di sekolah. Ini pertanda, virus yang membahayakan tersebut sudah ada di depan mata.

Suster kepala dengan tegar berdiri sambil berseru di depan gerbang sekolah Santa Ursula BSD, “Pulang … pulang … kalian belajar dari rumah masing-masing!”

Pada saat itu aku bersama guru-guru lain turut berlari-lari di depan gerbang untuk menghalau kendaraan-kendaraan yang mengantar siswa-siswi masuk ke lingkungan sekolah agar kembali lagi ke rumah masing-masing. Ada salah satu guru yang turut berteriak, “Pulang … pulang … nanti akan ada informasi dari wali kelasnya masing-masing!!!”

Era baru masuk dalam dunia pendidikan Indonesia, pandemi adalah pencetus perubahan itu. Aku sangat gagap teknologi, aku sangat takut anak-anak didikku tidak mendapatkan apa yang seharus mereka dapat pada perjumpaan di dalam kelas. Bagaimana caraku menyampaikan materi dan mendidik mereka? Pertanyaan itu yang selalu terdengar di dalam kepalaku atau terkadang juga ada guru-guru lain mendiskusikan bersama tentang strategi pembelajaran jarak jauh.

Saat itu aku dan bersama guru lainnya tidak sempat berpikir atau merencanakan strategi-strategi pendidikan yang harus diterapkan dalam pembelajaran jarak jauh. Dengan kemampuan yang terbatas pada pemanfaatan teknologi, yang terpikirkan adalah hanya menggunakan teknologi dalam pembelajaran jarak jauh. Banyak aplikasi yang aku temukan di internet, lalu aku usulkan kepada rekan-rekan guru untuk dapat digunakan dengan mudah dan efisien. Aplikasi itu seperti zoom meeting, google meet, google sites, quizizz, pear deck, dan lain-lain.

Aku dan rekan kerja saling berbagi informasi materi yang dapat diakses secara online, tutorial dan tips-tips pembelajaran jarak jauh. Meskipun mengalami kesulitan, bahkan sangat menjatuhkan mentalku sebagai guru, tetapi situasi dan kondisi serta profesionalisme memaksaku untuk belajar memanfaatkan teknologi dan beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru di masa pandemi COVID-19.

Pada tahun kedua di masa pandemi COVID-19, kemampuan teknologi dalam pembelajaran telah kami kuasai, maka saatnya kami berpikir dan merencanakan pembelajaran yang mendukung kemampuan abad 21. Metode-metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, kolaboratif, kritis dan analitis. Bukan lagi dengan cara-cara lama yang disampaikan searah kepada siswa, tetapi guru zaman now harus mampu menjadi fasilitator, membuka wawasan anak agar mampu menyaring informasi dengan benar menggunakan metode pembelajaran Student Centered Learning, sehingga siswa menjadi subjek dalam pembelajaran, alat atau gadget digunakan untuk membantu siswa mencari konsep-konsep keilmuan, agar mereka paham pemanfaatan teknologi dalam pendidikan. Sementara pikiran, hati dan kehendak mereka digunakan sebagai cara untuk menganalisis dan menerapkan konsep-konsep keilmuan itu dalam kehidupan sehari-harinya.

Tangerang Selatan, 23 September 2022

Abel Petrus