Abel Petrus

Pagi ini melintas di beranda facebook ku status seorang teman begini bunyinya, “Belanjalah di warung tetangga, karena ketika kamu mati yang akan membantu adalah tetanggamu, bukan pegawai indomaret atau alfamart, bahkan pemilik ritel.”

Keyword: interaksi sosial, masyarakat, ritel, warung, warga, perubahan sosial

Penjelasan sebelum membaca: Istilah-istilah dan penggambaran peristiwa pada esai ini memang sengaja menggunakan kata-kata dan peristiwa-peristiwa yang pernah ada di tahun 90-an, jika kamu anak zaman sekarang, cobalah eksplorasi di google istilah-istilah atau peristiwa-peristiwa tahun 90-an agar dapat memahami isi esai ini.

Status itu membuat aku tergelitik, kemudian aku menerawang pada ingatan masa lalu. Mengenang kembali masa bahagia menjadi kanak-kanak. Dulu di tahun 90-an ketika kami terbiasa bermain di depan warung tetangga, biasanya aku dan teman-teman selain bermain juga berbelanja jajanan pada warung tersebut, mulai dari permen, es lilin, es rujak, hingga Anak Mas berbagai rasa, untuk bagian ini aku suka rasa keju. Akan tetapi, dimulai sekitar tahun 2000-an setelah banyak bermunculan minimarket ritel seperti Indomaret atau Alfamart jajanan anak juga bisa ditemukan, sembako yang dulu aku ketahui hanya ada di toko kelontong, kini ada juga di Indomaret atau Alfamart.


Di era digital dan serba cepat ini, pergi ke warung tetangga bisa terasa seperti melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, dimana satu-satunya notifikasi yang kita terima adalah panggilan ibu dari jauh, bukan dari ponsel. “Ari…!!! Beliin emak masako, cepetan!!!”, Ibu berteriak. Notifikasi yang lebih mengerikan dibandingkan ketika dewasa dengan banyak hutang mendapatkan panggilan telepon dari depkolektor penagih hutang. Namun, dalam skenario ini, warung tetangga tidak hanya menjual barang-barang kebutuhan pokok, tapi juga kenangan dan tawa, sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan di kasir Indomaret atau Alfamart, berdeda jika kasirnya cantik atau ganteng, pasti kita kesemsem, senyum-senyum simpul menggoda kasir. Tapi, bukan kasir ganteng atau cantik pembahasan kita hari ini. Hahaha…

Maria Mercedes, film Telenovela yang pernah populer di tahun 90-an.

Perubahan sosial dan ekonomi karena munculnya ritel modern memang membawa dampak yang signifikan terhadap warung-warung kecil. Dulu, warung tetangga adalah tempat di mana kita tidak hanya membeli kebutuhan sehari-hari tetapi juga mengecek kabar tetangga, bertukar cerita, atau bahkan sekedar lempar senyum simpul yang membuat hari terasa lebih hangat. Warung bukan sekedar tempat transaksi, tapi juga transmisi (penerusan atau istilah media sosial adalah forward) nilai-nilai sosial. Bapak-bapak selepas sholat maghrib berkumpul di depan warung tetangga, duduk-duduk sambil ngopi-ngopi dan ngobrol ngalor-ngidul tentang bola, politik, atau isu-isu terkini dari siaran berita televisi. Selain itu, biasa juga dilakukan pada akhir pekan atau pada saat giliran ronda malam menjaga komplek. Di samping itu, ibu-ibu juga tidak mau kalah, disaat suami mereka bekerja, ibu-ibu akan berkumpul di depan warung tetangga, ngobrol seru dari film telenovela yang ceritanya mirip-mirip kisah tetangga, sambil ngerumpi atau ngegosip yang “makin digosok makin sip”. Semua mengalir dengan canda tawa, dan keakraban yang menyatukan mereka.

Namun, zaman berubah. Minimarket dengan pencahayaan yang terang benderang, rak-rak yang tertata rapi, dan variasi produk yang memanjakan mata membuat banyak dari kita tergoda. Belanja menjadi lebih praktis, cepat, dan kadang kala, lebih ekonomis atau bahkan sekedar selfie memegang Kopi Kenangan dan di posting pada media sosialnya, atau sekedar “ngonten” untuk mencari keuntungan profit dari platform seperti youtube, dan endorsmen untuk media sosialnya. Belum lagi yang disukai oleh para ibu-ibu adalah promo dengan harga yang lebih murah dari biasanya, seperti istriku, ia selalu membeli barang-barang yang ada di etalase kasir dijual dengan istilah, “tebus murah”. Ini seperti memilih antara menonton film di bioskop dengan semua kemewahannya atau di rumah dengan LK21 yang iklannya terkadang mengandung pornografi atau judi online; kenyamanan sering kali menjadi pilihan utama.

Namun, apa artinya kemudahan dan kepraktisan jika kita kehilangan esensi dari kebersamaan dan kehangatan komunitas? Warung tetangga, dengan semua keunikannya, adalah simbol dari ekonomi kerakyatan yang membantu menjaga roda ekonomi berputar dari bawah. Itu mengingatkan kita bahwa belanja bukan hanya tentang transaksi, tapi juga tentang interaksi.

Saranku untuk Indomaret atau Alfamart, bisa juga melakukan penggalangan dana dari receh-receh pelanggan yang biasa dilakukan itu, lalu hasilnya diberikan kepada rukun kematian yang disumbangkan melalui RT/RW setempat, warga sekitar yang ada di lingkungan RT/RW tersebut ikut memantau penggunaannya agar tidak diselewengkan. Dengan cara menyumbangkan untuk rukun kematian, warga sekitar juga tidak merasa hanya dijadikan sebagai pasar mencari keuntungan pemilik ritel, tetapi juga dimanusiakan untuk saling menjaga relasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Saran lainnya, dikhususkan kepada warga. Untuk menjaga agar warung tetangga tidak hanya menjadi kenangan, ada saran kreatif yang bisa kita terapkan. Program “Nongkrong Bareng Bapak-Bapak” sambil ngopi atau ngeteh di akhir pekan bisa menjadi cara yang efektif dan menyenangkan untuk menghidupkan kembali warung tetangga serta menguatkan ikatan komunitas. Inisiatif ini bisa dikoordinasikan oleh Ketua RT/RW bersama dengan pemilik warung tetangga, menciptakan sebuah agenda rutin yang ditunggu-tunggu oleh warga, khususnya para bapak-bapak yang ingin bersantai setelah seminggu penuh bekerja.

Saran tersebut sebenarnya memang tidak berlaku untuk warga komplek dengan tipe rumah RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali) atau dipemukiman warga, seperti di perkampungan atau di luar tembok cluster, karena mereka biasa melakukan kumpul-kumpul di depan warung tetangga untuk sekedar ngobrol sambil ngopi selepas bekerja, sarapan nasi uduk di warung si “empok” atau hanya sekedar menyapa. Hal ini masih bisa aku lihat di perumahan tempatku tinggal. Maklum… saya tinggal di komplek tipe RSSS.

Saran “Nongkrong Bareng Bapak-Bapak” bisa diterapkan terutama bagi masyarakat yang tinggal di cluster-cluster mewah dengan pagar rumah yang tinggi-tinggi dan tanah perkarangannya yang luas, atau istilah sekarang rumahnya para “sultan”. Mereka sibuk dengan kesehariannya, mengurus bisnis, pekerjaan atau aktivitas kelas masyarakat atas lainnya, seperti CEO, pejabat negara, atau pulang-pergi keluar negeri untuk bisnis atau juga untuk healing menghabiskan anggaran negara. Ups…. itu hanya untuk oknum yang kurang pendidikan karakter pada waktu dibangku sekolah ya…. bukan generalisir lho… . Biasanya orang-orang kelas atas atau para sultan ini, ketika mereka meninggal, keluarganya dengan tingkat ekonomi yang berlebihan itu sudah sangat mampu membiayai jasa rumah duka, mulai dari pengurusan jenazah hingga prosesi pemakaman di lahan yang petaknya bisa seluas bahkan lebih dari RSSS.

Tetapi tidak menutup kemungkinan, ini bisa dilakukan juga dikalangan kelas bawah, seperti di komplek RSSS dan diperkampungan, atau juga masyarakat kelas “sultan”. Sebab, acara seperti ini tidak hanya sekedar ajang kumpul dan bercengkrama, tapi juga bisa diisi dengan berbagai aktivitas menarik lainnya, seperti diskusi ringan mengenai perkembangan terkini di lingkungan sekitar, hobi, olahraga, atau bahkan sesi tukar pikiran tentang cara-cara meningkatkan kesejahteraan warga, kalau ini jadi program mungkin saranku jangan yang mengandung politik ‘keberpihakan’ yang berkedok pada rakyat, tetapi sebenarnya adalah kampanye…, mungkin bisa juga mengedukasi masyarakat pada isu-isu politik, apalagi yang sedang ramai saat ini adalah politik identitas, hiiii….. mengerikan… . Selain itu, bisa juga diselipkan kegiatan seperti pemutaran pertandingan sepak bola yang ditayangkan di televisi, turnamen catur atau domino, yang semakin menambah keseruan berkumpul.

Program seperti ini tentunya akan memberikan nilai tambah bagi warung tetangga, bukan hanya dari sisi peningkatan penjualan tetapi juga dalam hal peran sosialnya sebagai pusat kegiatan komunitas. Ini bisa menjadi contoh nyata dari bagaimana ekonomi dan kehidupan sosial bisa saling mendukung satu sama lain. Oiya, apakah ada warung tetangga di cluster-cluster para “sultan”? Ya, mungkin… ada istilah lain yang dibuat untuk menerapkan program ini bagi para penghuni cluster mewah.

Dengan mengadakan program “Nongkrong Bareng Bapak-Bapak”, kita tidak hanya membantu meningkatkan ekonomi warung tetangga, tapi juga memperkuat tali persaudaraan di antara warga. Ini adalah cara yang luar biasa untuk mengingatkan kita semua bahwa di balik setiap transaksi di warung tetangga, ada nilai-nilai kebersamaan, persahabatan, dan gotong royong yang menjadi dasar dari komunitas kita.

Buku Tafsir Mimpi yang digunakan dalam menebak angka untuk memasang taruhan “buntut” atau “togel”

Kenangan warung tetangga tidak akan terlupakan, ingin melakukan saat ini, ketika aku sudah menjadi Bapak-bapak, seperti bapakku bersama teman-temannya ngopi dan makan pisang goreng di warung tetangga sambil ngecak “buntut” atau “togel” dengan buku primbon, atau buku tafsir mimpi. Mari kita ingat bahwa di balik kemajuan dan modernisasi, ada nilai-nilai sosial yang tidak boleh kita lupakan. Warung tetangga bukan hanya tempat belanja, tapi juga simbol dari kehangatan komunitas. Dengan sedikit usaha dan kreativitas, kita bisa membantu menjaga agar lampu di warung tetangga tetap menyala, bukan hanya sebagai penerang jalanan, tapi juga sebagai simbol dari kebersamaan dan kehangatan yang tak lekang oleh waktu.

Warung Tetangga, 04 Maret 2024