Laporan Situasi Bali Menjelang Ekspedisi Militer V Belanda ke Bali Tahun 1906

Sumber: Indisch Militair Tijdschrift, tahun 1906, II, pp. 776-787

Peta Bali Tengah 1906
Peta Bali Tengah 1906

Kini suatu tindakan militer atas pulau Bali menjadi kenyataan. Perkenankan saya untuk mengetahui tentang pulau ini menyampaikan sesuatu dengan tujuan untuk lebih mudah bisa mengikuti perkembangan situasi. Suatu gambaran yang lebih cermat tentang daerah itu sampai tujuan ekspedisi terbukti lebih lanjut, cukup dengan tinjauan umum tentang berbagai hubungan di pulau ini, lebih khusus lagi pada daerah-daerah swatantra dan sejauh ini sangat penting dari sudut pandang militer.

Pulau yang mempunyai luas 105,5 GM2, terletak dekat dengan daratan Jawa, penuh dengan gunung yang berpuncak tinggi, dengan yang utama adalah Gunung Agung (3200 meter), Batur (2250 meter) dan Batu Kau (puncak Tabanan, 2300 meter). Di sebelah barat gunung Batu Kau ini menjulang sebuah pegunungan liar, berhutan lebat, tanpa penghuni dan karena itu tidak dikenal, yang jelas dipisahkan dari gunung-gunung yang terletak lebih ke timur, di mana Batur masih bekerja dan selain itu yang penting karena kawahnya yang sudah tua, sehingga kerucut sekarang ini menjulang dan dihormati sebagai tempat tinggal dewa terpenting.

Karena arah pemisah yang jelas terbentang barat-timur pada umumnya membentang lebih dekat dengan pantai utara daripada selatan, bentuk dataran yang kebanyakan adalah dataran tinggi terutama muncul di bagian selatan Bali. Sungai-sungai sangat banyak di Bali, tetapi dengan kekayaan airnya yang rendah dan tidak berguna bagi sarana lalu-lintas karena air terjun yang tinggi. Pada umumnya aliran utara-selatan atau selatan-utara, mereka menciptakan ngarai-ngarai yang dalam dan terutama di dataran selatan, masih ada sebuah kolam dengan kedalaman 5-20 meter dan celah saluran yang menjadi hambatan lahan melalui dindingnya yang hampir tegak lurus. Gerakan pasukan dari timur ke barat dan sebaliknya melalui kondisi lahan ini menjadi sangat terganggu, terutama bagi artileri dan kuda-kuda beban, yang selain itu mengalami banyak kesulitan dengan terobosan sebagian besar sungai yang mengalir deras dengan kolam yang ditimbuni bongkahan karang.

Danau kawah juga banyak ditemukan termasuk danau Batur yang paling indah, selanjutnya sejumlah sumber air. Melalui proyek pengairan buatan, orang-orang Bali mencoba memberikan air pengairan yang diperlukan bagi sawah-sawahnya, sehingga saluran air yang sering dikeruk dalam sampai beberapa kilometer (telaba) dibuka, kebanyakan menjadi hambatan lahan yang juga mempersulit gerakan kearah utara-selatan atau sebaliknya. Jika dipikirkan bahwa lahan miring memerlukan pembukaan sawah berbentuk teras, maka suatu gambaran umum diperoleh tentang peluang terjangkaunya lahan Bali bagi senjata beroda.

Tetapi orang Bali yang sejak dahulu beradab sejauh mungkin  memperhatikan jalan-jalan penghubung di antara berbagai desanya; di bagian yang berpenghuni, juga masih ditemukan sebuah jaringan jalan sagnat rapat, yang berbeda-beda lebarnya antara 1-8 meter di luar tempat-tempat yang berpenghuni, dan sesuai dengan arti pentingnya tetapi kebanyakan tidak memadai dan terawat baik. Jaringan ini terdiri atas sambungan petak-petak horizontal yang dihubungkan oleh sejumlah jalan sangat panjang dan curam yang untuk bisa melindungi terhadap air yang mengalir, setidaknya di dekat desa, ditimbuni dengan batuan sungai sehingga lebih menjadi penghambat daripada memudahkan lalu-lintas untuk kuda beban yang dimuati.

Pemerintahan raja-raja Bali tidak popular; di samping pajak sangat tinggi, penduduk juga harus melaksanakan kerja wajib yang berat, yang sangat tidak adil pembagiannya karena bagi kerja-kerja sehari-hari (menjaga puri, kerja kuli bagi raja dan sebagainya, yang umumnya sering disebut sebagai kerja wajib) tiga kasta tertinggi dibebaskan, sementara bagi kerja wajib desa kaum brahmana tidak disertakan. Hanya bagi peperangan, semua pria dewasa harus ikut terlibat selain pendeta; perbedaan yang selalu muncul belakangan ini antara pemerintah dan kawula raja-raja menuntut penjagaan perbatasan, tetapi semua itu dilakukan dengan kerja wajib dan dengan demikian terutama dibebankan kepada orang kecil, petani. Orang-orang Bali dalam kondisi demikian tidak bisa melepaskan diri dari raja-raja, terutama harus diduga berasal dari kondisi bahwa mereka tidak bisa lebih baik di tempat lain (selain di bawah pemerintahan langsung oleh pemerintah) selama mereka tidak dibebaskan terhadap pemerasan raja-raja atau punggawa.

Orang Bali pada dasarnya tidak memiliki pandangan nasional seperti yang terbukti dari tulisan di atas; hanya kepentingan sesaat atau apa yang dia anggap demikian mengatur tindakannya terhadap ikatan politiknya. Dalam ancaman oleh kekuatan asing, kerajaan-kerajaan tidak bisa bersatu untuk menolak infiltrasi itu, seperti yang dialami dalam ekspedisi Bali, meskipun kerajaan-kerajaan Bali berada di bawah kebesaran Klungkung. Kekuasaan yang berasal dari raja, yang menyebut dirinya Dewa Agung dan menyandang gelar Susuhunan Bali dan Lombok, hampir sepenuhnya hanya di atas kertas; hanya dalam perundingan dengan pemerintah, mereka merujuk pada kekuasaan Klungkung (untuk mendapatkan penundaan); tanpa persetujuannya, tidak ada ikatan yang bisa dibuat.

Seperti yang diketahui, setelah ekspedisi Bali ketiga, Buleleng diletakkan di bawah kekuasaan raja Bangli. Karangasem dipinjamkan kepada raja Lombok (Mataram) dan bersama kerajaan-kerajaan lain yaitu Tabanan, Mengwi, Badung, Gianyar dan Klungkung kontrak dibuat di mana semua kerajaan itu mengaku sebagai bagian dari pemerintah Hindia Belanda dan memberikan hak untuk tetap menjalankan kekuasaan kepada pemerintah.

Raja Bangli melepaskan Buleleng, di mana seorang bupati ditempatkan di bawah pengawasan seorang kontrolir (1854); di Jembrana pada tahun 1856 seorang kontrolir muncul sementara pada tahun 1861 kedua daerah itu berada di bawah asisten residen Buleleng. Karena tindakan pelanggaran, pada tahun 1866 bupati Jembrana dan juga pada tahun 1874 bupati Buleleng dibuang, sehingga kedua daerah itu diletakkan di bawah pemerintahan langsung. Pada tahun 1882 sebuah karesidenan Bali-Lombok dibentuk, seingga baru pada tahun 1894 atau 26 tahun setelah tindakan bersenjata kita terkahir di Bali, sebuah ekspedisi terbukti diperlukan yang mengakibatkan Karangasem sebagai bagian dari kerajaan Lombok harus diserahkan kepada pemerintah. Begitu juga daerah yang belum diperintah langsung tetapi di bawah seorang penguasa yang kuat, Gusti Gede Jelantik, bisa dikenal dari sejarah Lombok.

Dari pihak kita suatu tindakan militer memerlukan waktu beberapa tahun, jadi kondisi di Bali masih belum tenang. Sengketa selalu terjadi di antara berbagai kerajaan, kebanyakan mengenai budak atau wanita yang melarikan diri, tentang pembagian air dan juga dengan pemisahan bagian-bagian yang tidak puas dengan pemerintahan raja. Untuk memahami kondiis sekarang ini, suatu pembahasan singkat tentang masa-masa belakangan terbukti diperlukan. Selama tahun-tahun ini, Klungkungan memperluas kekuasaannya atas Mengwi, dan pada tahun 1883 Gianyar bergabung. Tetapi Mengwi pada tahun 1891 menduga saatnya telah tiba untuk melepaskan diri dari Klungkung, tetapi pasukan Badung bergerak masuk ke wilayahnya, pada bulan Juni tahun itu merampok ibukotanya sehingga raja terbunuh dan putranya Gusti Gede Agung ditangkap dan ditahan di Denpasar (ibukota Badung).

Karangasem yang masih kerabat dengan Mengwi, bertindak ofensif terhadap Badung dan Klungkung, yang dibantu oleh sebagian Gianyar, yang berusaha melepaskan diri dari Klungkung juga. Dewa Agung yang merasa tidak mampu lagi menyelesaikan persoalan itu, meminta bantuan Bangli, yang saat itu berbalik melawan Gianyar dan menduduki sebagian daerah Gianyar dengan pelabuhannya Lebih. Karena kini selanjutnya bagian barat daya Mengwi berada di bawah Tabanan, orang-orang ini menemukan kondisi berikut ini: Mengwi dibagi antara Badung dan Tabanan. Sebagian besar Gianyar diduduki oleh Karangasem dan bagian lain oleh Bangli, sementara sebidang tanah kecil yang berbatasan dengan Klungkung menjadi milik Klungkung.

Di bawah Dewa Ngurah Agung, seorang putra raja Gianyar saat itu yang berusaha lolos dari penahanannya di Klungkung, Gianyar tetap bertahan melawan Klungkung dan terhadap Bangli, dan dengan hasil yang baik karena pada bulan November 1893 Gianyar kembali diakui sebagai kerajaan merdeka, meskipun juga dengan kehilangan daerahnya yang lama, tetapi bisa diakui oleh residen. Kepada Gianyar dianugerahkan sebagian kecil Mengwi, yang selain itu dibagi di antara Badung dan Tabanan dan tetap bertahan sebagai kerajaan sendiri.

Bersama pemulihan Gianyar, raja-raja lain setidaknya merasa puas dan terutama Klungkung sangat gigih menentang, tetapi khususnya Bangli sangat marah terhadap kerajaan itu, apa yang lebih mudah dipahami karena sebagian besar air pengairan yang  diperlukan bagi Gianyar harus ditampung di Bangli. Berulang kali saluran, bendungan, tanggul dan sebagainya dirusak. Tetapi juga dengan menghasut penduduk agar melawan raja, Bangli berusaha melemahkan Gianyar. Jadi Gianyar pada tahun 1897 melepaskan daerahnya di utara kepada Bangli.

Setahun sebelumnya, Dewa Ngurah Agung yang kuat wafat dan digantikan oleh Dewa Gede Raka, seorang penguasa yang lemah sehingga kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya semua bersepakat untuk berdiri sendiri, bertentangan dengan maksud residen. Pada awal 1899 Bangli dengan dibantu oleh Klungkung dan Badung menyerang Gianyar secara terbuka, sehingga kerajaan ini menghadap kepada pemerintah kita pada bulan Mei 1899 untuk meminta bantuan. Jika campur tangan residen pada mulanya membawa dampak, pada akhir tahun yang sama serangan diulangi.

Dengan tujuan untuk memberi nasehat, raja Gianyar bersama para punggawanya mempertimbangkan keinginan untuk ditempatkan di bawah pemerintah atas dasar yang sama seperti Karangasem. Setelah kesepakatan dicapai dengan dan antara para kepala daerah, Dewa Gede Raka pada awal tahun 1900 menawarkan kerajaannya kepada pemerintah Hindia Belanda dengan syarat dirinya tetap menjadi penguasa; hanya Abeansemal yang dipisahkan setelah penawaran ini dan diletakkan di bawah Klungkung. Pada bulan November 1900 keputusan pemerintah dalam hal ini dikeluarkan seperti yang diusulkan oleh Dewa Gede Raka, sehingga Gianyar sejak ini menjadi daerah pemerintah yang diperintah oleh seorang wakil.

Kepada raja-raja lainnya keputusan in disampaikan dan juga ditunjukkan bahwa serangan terhadap Gianyar terutama harus dianggap sebagai serangan terhadap pemerintah. Raja-raja yang merdeka di bawah pimpinan Klungkung mengajukan protes, bahwa keputusan pemerintah itu harus dianggap tidak sah karena Gianyar sebelumnya telah diserahkan kepada Klungkung. Mengingat hal itu tidak benar, pemerintah tetap bertahan pada keputusannya. Kepada penduduk Abeansemal disodori pilihan kepada siapa mereka ingin bergabung; sebagian kecil di daerah timur kembali bergabung dengan Gianyar, sisanya bergabung dengan Klungkung.

Di Bali empat kerajaan swatantra tetap bertahan: Klungkung, Bangli, Badung dan Tabanan, dengan Klungkung yang memegang sejenis kekuasaan tertinggi atas raja-raja yang memerintah sejak dahulu. Tetapi pengaruh kerajaan Klungkung sejak lama meluas di luar batas-batas daerahnya, jadi kerajaan-kerajaan lain bisa untuk menjalin hubungan yang berbeda dengan pemerintah sambil menyisihkan Klungkung. Keuntungan khusus tidak ada bagi pemerintah kita, karena ternyata selama ini semua persoalan telah dibahas di luar Klungkung.

Kesulitan antara pemerintah kita dan para penguasa swatantra sebaliknya masih terus ada; kerjasana untuk menyerahkan para pelaku kejahatan oleh Badung dan Klungkung, dan bagi pengawasan yang lebih ketat atas orang-orang Tionghoa yang gemar berjudi dan menghisap candu dan tinggal di Buleleng dan Bangli masih ada; saluran bagi pengairan tanah Gianyar berulang kali dirusak. Penyelesaian sengketa perbatasan antara kerajaan-kerajaan ini mengalami kelambatan dan sebagainya. Tampak bahwa Klungkung telah menghasut desa-desa yang termasuk milik kerajaan lain seperti Mengwi milik Badung agar memberontak terhadap rajanya, ketika suatu usaha oleh Klungkung untuk memulihkan Mengwi lama sebagai kerajaan otonom gagal. Sebagai akibatnya di sana terjadi pemberontakan yang dipadamkan oleh Badung dengan pasukan Tabanan.

Demikian jauh tampak bahwa tindakan lebih tegas perlu diambil terhadap Klungkung dan residen yang dibantu oleh tiga kapal perang datang sendiri di Klungkung dengan tuntutannya tentang penyerahan para pelaku kejahatan, perselisihan perbatasan dan sebagainya dan dengan hasil yang baik kembali (September 1902). Juga daerah-daerah lain selain Bngli setelah ini lebih mudah ditangani. Perlu disebutkan bahwa Badung dan Tabanan pada tahun 1902 bersekutu melawan Klungkung.

Pada bulan Maret 1903 raja Tabanan wafat dan oleh putranya Gusti Ngurah Rai digantikan dengan nama Gusti Ngurah Agung. Dalam pembakaran jenasah raja, juga mesatia (pembakaran janda) terjadi. Mengingat beberapa tahun sebelumnya protes tertulis telah gagal diajukan terhadap kebiasaan ini, di Bangli diterapkan pada pembakaran seorang saudara raja, pejabat urusan pribumi berangkat ke Tabanan dan melarang pembakaran dilakukan dengan didukung oleh dua kapal perang. Toh upacara tetap terjadi, sehingga kontrak dibatalkan dan raja harus membuat suatu kesepakatan baru, di mana dia wajib menghapuskan mesatya (Januari 1904).

Kemudian terbukti bahwa Badung (bula pada bulan Pebruari 1902 rajanya wafat dan digantikan oleh adiknya Gusti Ngurah Made Agung dengan nama Gusti Gede Ngurah Denpasar) dan Klungkung telah menggabungkan Tabanan dalam perlawanannya mengenai mesatie itu. Di Klungkung, pada bulan Agustus 1903 raja juga wafat, dan digantikan oleh Dewa Agung Gede dengan nama Dewa Agung Putra; pembakaran mayat raja tanpa mesatia terjadi. Bersama Klungkung dan Badung kesepakatan dibuat, yang menghapuskan mesatia (September dan Desember 1904) dan beberapa saat kemudian (Januari 1905) juga dengan Bangli, sehingga kini di seluruh Bali pembakaran janda termasuk telah hilang. Gelar raja Klungkung dalam kesepakatan dimaksud diubah menjadi Susuhunan Klungkung dan disesuaikan dengan kondisi kekuasaan yang sebenarnya.

Di kerajaan itu, pada bulan September 1904 perdana menteri Dewa Agung Rai yang berpengaruh dan berpandangan buruk kepada pemerintah kita wafat dan digantikan oleh adik raja yakni Dewa Agung Gede Semarabawa.sementara itu Gianyar dilanda oleh kerusuhan dalam negeri, tetapi yang segera bisa diselesaikan sementara kembali saluran air yang penting dirusak oleh warga Klungkung dan Tabanan. Kini jika Tabanan, Badung dan Klungkung mau menunjukkan  kerjasama, Karangasem dan Gianyar tetap membantu pemerintah kita dalam usahanya menegakkan kondisi teratur demi kepentingan penduduk, Bangli masih tetap menempuh jalan lama.

Jadi persoalan masih ada ketika pad abulan Mei 1904 kapal Sri Koemala yang terdampar di Sanur dirampok akibat kelalaian penguasa swatantra. Usaha untuk meminta ganti rugi 3000 real dari raja bagi pemiliknya dan penghukuman para pelakunya gagal dan akhirnya mengarah pada tindakan penekanan; penutupan Badung bagi semua impor, sementara ekspor diijinkan dengan membayar cukai biasanya. Di sisi laut tindakan ini dilaksanakan oleh kapal-kapal kita, pada sisi darat bantuan diminta dari raja-raja di sekitarnya (Juni 1905). Tabanan tidak bersedia bekerja sama dank arena itu sejak hari-hari pertama bulan Mei lalu diperlakukan dengan cara yang sama seperti Badung. Meskipun Klungkung menjamin pemerintah kita akan membantu, terbukti bahwa daerah taklukkan Klungkung yang berbatasan dengan Badung (Sibang dan Abeansemal) tidak mematuhi aturan larangan; tetapi mungkin saja ini disebabkan oleh lemahnya kekuasaan yang dimiliki oleh Susuhunan atas daerah-daerah ini.

Bangli meminta penjelasan tentang cara tindakan kita terhadap Badung dan kemudian Tabanan. Jika permohonan ini menunjukkan betapa rendahnya penghormatan Bangli terhadap pemerintah kita, pada bulan Maret lalu permusuhan dilakukan dan pelanggaran kontrak dengan pemerintah terjadi. Ketika itu kembali saluran Pejeng dan Siangan yang mampu mengairi ribuan bahu sawah di Gianyar secara sengaja dihancurkan oleh orang-orang Bangli. Saluran itu digali di lahan yang dahulu termasuk Gianyar, tetapi pada tahun 1900 direbut oleh Bangli, sebagian (Tampaksiring) diletakkan di bawah Klungkung. Dengan demikian orang berpikir bahwa dalam kontrak perkara pengairan serupa harus diatur dan juga dalam kasus ini Bangli berjanji tidak akan merusak saluran air lagi. Perbaikan saluran Siangan dihambat oleh orang-orang Bangli dengan ancaman kekerasan.

Pada bulan yang sama, beebrapa ratus orang Bangli bersenjata menyerang sebuah kubu milik kawula Karangasem, yang terletak di lahan sengketa tetapi diduduki oleh Karangasem. Pemiliknya diangkut bersama sebagian ternaknya sementara kubu itu dibakar. Mengingat semua tindakan pemerintah tidak mampu mengubah pendirian Badung, kondisi menjadi semakin gawat sehingga banyak peluang muncul bagi ekspedisi ke Badung dan Tabanan. Tidak tertutup kemungkinan gerakan pasukan juga terjadi ke Bangli, yang tampak dari uraian di atas sementara juga ada kemungkinan bahwa Klungkung tampil sebagai pihak yang berperang, karena perdana menteri adalah putra saudari raja Bangli, Dewa Gede Tangkeban.

Daerah swatantra yang terletak di sepanjang pantai selatan Bali dengan perkecualian Bangli, tidak memiliki daerah pantai. Pada celah tenggara yang kini dominan di pantai itu, yang dibatasi oleh samudera Hindia, sering ombak yang keras muncul sehingga mempersulit hubungan dengan daratan. Pelabuhan Tabanan di Pesut, Jehgangga dan Kedungu sering tidak bisa digunakan di musim hujan, tetapi tampak bahwa beberapa hari kemudian ombak begitu sedikit sehingga pendaratan dengan rakit bisa dilakukan. Kedungu merupakan pelabuhan yang paling sedikit digunakan, perahu sayap (jukung, sarana pengangkutan Bali melalui laut) dengan susah payah bisa mencapai pantai di sana.

Semakin ke timur di daerah Badung, terletak Seseh yang bernilai sama seperti Jehgangga sebagai tempat pendaratan. Dengan menyusuri pantai Badung, kita bisa menjumpai ujung semenanjung yang membentang ke selatan, yang menghubungkan Tafelhoek dengan daerah Badung lainya, pelabuhan Kuta, yang karena letaknya terlindung terhadap angin timur bisa menjadi tempat yang aman dan mudah dijangkau. Tetapi tampak bahwa pengalaman tidak membuktikan kebenaran dugaan itu; pelabuhan ini mengalami pengaruh angin samodera dan ombak pantai sangat keras, meskipun juga di sini hari-hari tenang berlalu. Pantai Kuta banyak tanamannya dan sangat bagus untuk mempersulit pendaratan; Kuta sendiri menawarkan kesempatan untuk menampung pasukan dan sebagainya dan memiliki hubungan jalan yang baik dengan Denpasar, ibukota Badung.

Teluk Pantai Timur di sebelah timur semenanjung tersebut, bagi kapal-kapal besar tidak bisa dimasuki dan bagi pendaratan pasukan tidak cocok karena kubangan pasir yang terbentang begitu jauh, tidak adanya tempat dagang yang terletak di teluk itu selain Benoa, meskipun laut masih sangat tenang. Karena itu pulau Serangan yang terletak di depannya melindungi garis pantai terhadap ombak. Benoa terletak kurang menguntungkan dibandingkan Denpasar dari sudut pandang militer, sementara kesulitan arus deras dan tempat berlabuh yang buruk melarang penurunan pasukan di tempat itu.

Yang sangat menguntungkan terhadap Denpasar adalah Sanur, yang dihubungkan melalui sebuah jalan yang baik. Meskipun pelabuhan Sanur tetap terbuka bagi angin yang melanda di musim kemarau, blokade atas Badung menunjukkan bahwa Sanur merupakan tempat berlabuh yang baik bagi kapal-kapal dan ombak tidak begitu keras melanda pantai ini dibandingkan tempat lain. Di sepanjang pantai terbentang celah-celah karang, yang membuat perairan di belakangnya tetap tenang (pada saat permukaan air tinggi cocok bagi rakit) sehingga di Pabean Sanur barang-barang dengan mudah bisa dibongkar. Di sebelah barat Sanur, karena celah berakhir di sana, sebuah kesempatan pendaratan yang baik tersedia yang sulit dipertahankan oleh musuh mengingat, mengingat bagian pantai itu seluruhnya terbuka dan oleh angkatan laut dengan mudah bisa ditembaki.

Pelabuhan Ketewel dan Lebih terletak di daerah Gianyar dan hampir semuanya bisa digunakan bagi pendaratan pasukan, meskipun tidak sebaik Sanur. Di sini toh orang bisa memperhitungkan kerjasama penduduk, sehingga pada saat ombak keras isa memanfaatkan perahu bersayap yang hanya bisa ditarik dengan bantuan orang-orang yang berada di pantai. Bagi suatu pendaratan, Lebih tampaknya lebih sesuai dibandingkan Ketewel dank arena tempat ini memiliki hubungan yang baik dengan ibukota Gianyar, dari sana jalan-jalan membentang ke Bangli, maka Lebih menjadi tempat pendaratan yang ditunjuk dengan tindakan bersenjata terhadap kerajaan ini apabila pertama-tama memang harus diambil.

Di pantai Klungkung, hanya ada sebuah pelabuhan yakni Kusambe, yang kurang cocok bagi tempat berlabuh kapal besar tetapi selain itu dilindungi oleh pulau Penide, sehingga bisa banyak dimanfaatkan. Pendaratan di sini juga sangat sulit seperti pada Sanur. Semakin ke timur kembali kita memasuki daerah Karangasem, yang peluang pendaratan pertama bisa dijumpai di Padangbaai, dikenal dari ekspedisi Bali ketiga; di sini pendaratan pasukan setiap saat bisa terjadi, dengan rakit. Tidak ada manfaatnya untuk menyelidiki tempat pendaratan lainnya sementara tidak dipertimbangkan bagi tindakan militer terhadap para penguasa pribumi, juga termasuk pelabuhan Buleleng di wilayah pemerintah, mengingat dari Singaraja harus dilakukan perjalanan dari pegunungan tinggi sebelum orang bisa tiba di kerajaan-kerajaan yang terletak di selatan. Pelabuhan di pantai Jembrana menderita nasib yang sama seperti pelabuhan lain di pantai selatan, sebagai imbangan bagi keuntungan bahwa Jembrana adalah wilayah pemerintah. Tetapi hubungan Jembrana-Tabanan sangat buruk.

Sejarah perang Hindia Belanda menunjukkan bahwa pendaratan di tempat yang diinginkan meskipun ada kesulitan dimungkinkan dengan sedikit pengorbanan. Dalam hal ini suatu pendaratan di wilayah musuh jika perlu disebutkan. Yan lebih penting daripada penyelesaian masalah ini adalah jawaban atas pertanyaan: apa yang bisa diharapkan dari perlawanan setelah pendaratan, bagi tujuan itu (agar para pemimpin dan penduduk pribumi tunduk pada keinginan kita)? Bagaimana pasukan sejauh mungkin diarahkan dengan kesempatan ini?

Menurut berita-berita, Badung memiliki 3400 senapan berpelatuk depan dan 50 senapan ulang, di samping 20an meriam dan lila. Tabanan memiliki 100 senapan yang bisa digunakan,10 senapan berpelatuk belakang dan 10 lila, sementara Bangli hanya memiliki 250 senapan. Di Klungkung jumlah senapan sangat sedikit. Selain itu karena setiap orang dewasa Bali memiliki tombak sepanjang 4-6 meter dan keris, tidak bisa dibantah bahwa persenjataan pasukan lawan yang harus diperhitungkan dengan kesepakatan Tabanan dan Badung, bisa disebut sangat kuat dan ketika penduduk belum diajari, posisinya dianggap sangat kuat seperti Jagaraga dan pertahanannya dilancarkan secara aktif seperti saat itu dan tahun 1869, maka pasukan kita tidak mudah untuk meraih kemenangan.

Bagaimana pertahanan yang kuat ini dirancang sulit untuk bisa dipastikan; yang jelas diragukan apakah masih ada proyek demikian yang bisa dibangun. Orang masih bisa memberi waktu kepada orang Bali tetapi kepemimpinan yang kuat yang saat itu berasal dari Gusti Jelantik di Buleleng, tidak lagi ada. Kampung-kampung Bali memang kuat sifatnya, baik melalui struktur bangunan maupun melalui parit-parit yang dibuat demi kepentingan pengairan atau penjagaan (blumbang, suter) yang memiliki lereng curam, dan pada lebarnya setidaknya 5 meter, juga kedalamannya lebih melalui pengerukan. Keahlian orang Bali dalam proyek pembangunan ini membuat mereka dalam waktu singkat siap merancang proyek yang diperlukan (sempana) untuk mencegah jalan masuk, sementara selanjutnya mungkin pura-pura yang ada dianggap menghasilkan titik tumpu yang besar. Juga tanah liat yang digunakan meskipun tidak bisa memberikan perlindungan terhadap peluru senapan kita dan juga dengan mudah bisa terbakar, deretan tembok ini masih bisa menjadi penghalang pasukan yang ingin masuk ke desa. Mereka memudahkan pertahanan sisi dalam, di mana puri-puri dan jero bisa berfungsi sebagai kubu pertahanan. Orang hanya ingat akan Mataram dan Cakranegara.

Di Lombok terbukti hanya ada sedikit pertahanan aktif, kecuali puputan, serangan tombak dari orang-orang yang mencari kematian, yang dengan tangannya sendiri bisa membunuh istri dan anak-anaknya. Serangan tombak demikian juga bisa ditemukan di Bali, tetapi juga bisa diduga bahwa dalam masa hidup manusia yang berlangsung sejak 1869 cara hidup orang Bali sangat mendukung kekuatan serangan dan semangat tempurnya. Pada ekspedisi Bali terbukti bahwa beberapa kemenangan cukup memadai untuk mencapai tujuan itu, meskipun kita saat itu menolak untuk merebut keuntungan yang ada. Suatu kelangsungan perjuangan, pelaksanaan perang gerilya seperti orang Aceh tidak bisa diharapkan dari rakyat Bali, yang selain itu sangat individualis.

Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan copy dimana saja dan mohon kerelaannya untuk mencantumkan link berikut ini: https://abelpetrus.wordpress.com/history/laporan-situasi-bali-menjelang-ekspedisi-militer-v-belanda-ke-bali-tahun-1906/

Leave a comment