Pengaruh “Cultuurstelsel” terhadap Negeri Jajahan dan Induk (1830-1850)

Petrus Haryo Sabtono
Makalah disampaikan pada Perkuliahan Sejarah Indonesia Abad 16 – 18
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana

Cultuurstelsel merupakan penerapan politik kolonial yang berpihak pada politik konservatif. Sistem ini diintroduksikan oleh Johanes van den Bosch yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal dalam tahun 1830 oleh pemerintahan kolonial Belanda, yang berawal dari Sistem Pajak yang diterapkan oleh Thomas Stamford Raffles dan kemudian dilanjutkan oleh para Komisaris Jenderal, Van der Capellen dan Du Bus de Gisignes telah mengalami kegagalan, yaitu dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman-tanaman untuk diekspor[1] dengan menarik pengusaha-pengusaha swasta Eropa untuk menanamkan modalnya bagi kegiatan ekonomi di negeri jajahan dan tindakan-tindakan sebagai berikut:

  1. Milik (tanah) bersama perlu diganti dengan milik tanah perseorangan;
  2. Perlu digunakan modal yang banyak untuk produksi, pembukaan lahan baru dan penanaman tanaman baru[2];
  3. Pergantian sistem politik dengan mengubah struktur sosial yang sangat feodal di Jawa, dengan segala ikatan-ikatannya yang tradisional ke sistem liberal.[3]

 

Demikian pula halnya dengan keadaan perekonomian di Nederland yang antara lain terjadinya perang Belgia (1830) ditambah pula perang Diponegoro yang mengakibatkan kekuatan industri pemerintahan kolonial Belanda mengalami kemunduran, sehingga tidak dapat menyaingi Inggris dalam ekspor hasil industri ke Hinda Belanda. Hilangnya sumber keuangan dari Tanah Domein Negara di Belgia yang disewakan keungan pemerintahan kolonial Belanda mengalami penurunan, maka untuk menghadapi kebagkrutan tersebut pemerintah kolonial Belanda memakai konsep daerah jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk atau dengan kata lain “gabus tempat Netherland mengapung”.[4]

Sistem Tanam Paksa adalah usulan dari Van den Bosch didasarkan atas prinsip wajib atau paksa dan prinsip monopoli. Prinsip yang pertama (wajib atau paksa) dipergunakan menurut model yang sama di Priangan (Jawa Barat). Sistem tersebut digunakan oleh VOC (Preanger Stelsel). Prinsip yang kedua memberi hak monopoli pada Nederlandche Handels Maatschappij (NHM) sebagai agen perdagangan.[5] Dalam sistem ini, pemerintah kolonial Belanda mencoba memanfaatkan ikatan-ikatan feodal dan tradisinal yang berlaku di daerah pedesaan untuk sesuatu keuntungan ekonomi yang diharapkan pemerintahan kolonial Belanda.[6]

Ciri utama dalam sistem ini mengharuskan rakyat di Hindia Belanda untuk membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian. Sistem pajak dalam bentuk uang seperti yang dilakukan pada saat sistem pajak tanah tidak lagi berlaku. Sistem ini diterapkan pertama kali di pulau Jawa. Sistem ini semakin dilegitimasi oleh sebuah aturan hukum tentang ketentuan-ketentuan pokok yang tertera dalam Staatblad (Lembaga Negara) tahun 1834 No. 22, yaitu:

  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi 1/2 dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak.
  5. Tanaman dagangan yang dihasilkan dari tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
  7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen dan pengangkutan-pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.[7]

Dari ketententuan di atas memang terlihat ideal, bahkan tidak memberatkan bagi rakyat. Namun dalam pelaksanaannya ternyata sering sekali menyimpang dari ketentuan-ketentuan pokok tersebut, misalnya:

  1. Sistem yang dimaksudkan sebagai usaha persetujuan yang suka rela, pada kenyataannya menjadi suatu paksaan. Dengan memberikan prosenan kultuur kepada para petugas, maka mereka berusaha keras mempertinggi produksi dengan menggunakan kekuasaannya. Dalam hubungan ini rakyat ditekan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya.
  2. Jumlah orang yang dikerahkan untuk proses penanaman ini sangat besar, meliputi kurang lebih 80.000 keluarga atau kira-kira 4 juta orang; hal itu berarti 1/4% dari jumlah penduduk yang tidak turut dalam proses penanaman tersebut dan selebihnya 3/4% jumlah penduduk aktif terlibat dalam usaha tersebut.
  3. Di daerah Priangan, Distrik Simpur hampir semua laki-laki dari beberapa desa dikerahkan selama 7 bulan untuk terlibat dalam penanaman tanaman nila. Selain itu di distrik tersebut dikerahkan lagi 5.000 orang laki-laki dan 3.000 ekor kerbau selama 5 bulan untuk mengerjakan tanah bagi pabrik milik pemerintah kolonial Belanda.
  4. Dari penyelegaraan Tanam Paksa, terbukti terjadi peningkatan jumlah pajak tanah secara drastis semenjak tahun 1829.
  5. Selisih antara pajak yang harus dibayar dengan nilai yang ditaksir dari hasil yang diserahkan, menurut peraturan harus dibayarkan kepada rakyat, akan tetapi dalam kenyataannya hanya sedikit sekali yang dibayarkan. Dari penanaman tebu, petani hanya mendapat upah menurut jumlah berat gula yang dihasilkan.[8]

Selama 20 tahun pertama dari sistem ini diterapkan, yaitu antara tahun 1830 dan 1850, beban penanaman paksa justru paling berat dipikul oleh rakyat Hindia Belanda itu sendiri. Pengadaan sarana dan prasarana sistem tanam paksa tersebut disediakan dengan model kerja paksa pula, seperti jalan-jalan raya, jembatan, terusan-terusan dan waduk-waduk. Disamping itu rakyat juga dikerahkan untuk pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah dan pesanggrahan-pesanggrahan untuk pegawai-pegawai kolonial dan untuk pekerjaan-pekerjaan seperti mengangkut surat-surat, dan barang-barang untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda, maupun kapal-kapal pengangkut perdagangan pengusaha swasta Eropa.[9]

Beda halnya dengan yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles yang mencoba menghilangkan struktur kekuasaan feodal yang kekuasaannya dipegang oleh bupati, di dalam prosesi Cultuurstelsel kedudukan struktur kekuasaan feodal atau tradisional justru diperkuat oleh struktur kekuasaan yang otoriter pemerintah Hindia Belanda bentukan pemerintah kolonial Belanda. Sistem pemerintahan tidak langsung menjadi saluran vital yang senantiasa perlu dipertahankan. Hirarki feodal itu prraktis tidak memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara penguasa Belanda dan rakyat, unsur-unsur kekuasaan pada tingkat-tingkat diantaranya tidak mungkin melampaui begitu saja tanpa menimbulkan hambatan-hambatan dalam aliran perintah dari atas dan hasil tanaman dari bawah.

Dalam hubungan ini perlu disebut bahwa Sistem Tanam Paksa banyak ditentang oleh para bupati yang dengan pelbagai aksi mengadakan obstruksi terhadap sistem tersebut. Sifat kepemimpinan bupati sebagai otoritas tertinggi di daerahnya adalah bersegi banyak (polimorfik), maka dengan penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa agak dipersempit, yaitu secara khusus mengawasi dan menjamin produksi atau dengan kata lain bupati merupakan mandor tanam paksa.[10]

Dengan adanya penerapan Sistem Tanam Paksa ini pemerintah Hindia Belanda mendapatkan keuntungan-keuntungan yang sangat besar, yaitu pada tahun 1841-1863 diperoleh laba sebesar 461 juta Gulden, sehingga pelbagai utang dapat dilunasi, serta perkapalan dan perdagangan di negeri Belanda dapat menempatkan Amsterdam sebagai pusat pasaran dunia untuk hasil-hasil tropis. Kerjasama antara pemerintah kolonial Belanda dengan Nederlandche Handels Maatschappij (NHM) ekspor tenun Belanda meningkat dan pada tahun 1840 impor di Hindia Belanda sudah berharga 8,8 juta Gulden, lebih 10 kali lipat dari impor pada tahun 1823.[11]

Demikianlah adanya pelaksanaan Cultuurstelsel telah menyebabkan kemajuan bagi perdagangan dan pelayaran Belanda, namun dilain pihak mengakibatkan melemahnya kekuatan pasar Hindia Belanda yang akhirnya berpengaruh pada semakin renggangnya jarak sosial-ekonomi antara pengusaha Barat dengan golongan pribumi.[12] Penerapan sistem inipun membawa penderitaan bagi rakyat jelata, terutama semakin miskinnya perekonomian rakyat Hindia Belanda.

Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan copy dimana saja dan mohon kerelaannya untuk mencantumkan link berikut ini: https://abelpetrus.wordpress.com/history/cultuurstelsel//

Daftar Pustaka

HISTORIA: Media Komunikasi Mahasiswa Sejarah, Edisi I. Jakarta: Jurnal HISTORIA, 2001. (Ed., pp. 51-54).

Kartodirjdo, Sartono, Sejarah Perkebunan di Hindia Belanda. Yokyakarta: Aditya Media, 1991.

______________, Pengantar Sejarah Hindia Belanda Baru 1500-1900: dari Imperium sampai Emporium, Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987.

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

______________, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Wijaya, Nyoman, Kekaisaran Kompeni Kecil: Korupsi, Kolusi, Nepotisme abad 19. Yogyakarta: Mahavhira, 2001.


[1] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), p. 97.
[2] Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Hindia Belanda (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), p. 50.
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Hindia Belanda Baru 1500-1900: dari Imperium sampai Emporium. Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), p. 305.
[4] Ibid.
[5] Lihat: Nyoman Wijaya, Kekaisaran Kompeni Kecil: Korupsi, Kolusi, Nepotisme abad 19 (Yogyakarta: Mahavhira, 2001).
[6] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. op.cit., p. 98.
[7] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, op.cit., pp. 99-100.
[8] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), pp. 8-9.
[9] Ibid., p. 109.
[10] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Hindia Belanda Baru 1500-1900, op.cit., pp. 308-309.
[11] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, op.cit., pp. 99-100.
[12] Nyoman Wijaya, op.cit., p. 149.

Leave a comment