#ruangsempitimajinasi

Dalam heningnya perjalanan panjang dari Bali ke Jakarta, aku menemukan diriku tenggelam dalam lautan kenangan dan tinta diary. Kereta yang melaju membawaku tidak hanya menuju rumah, tetapi juga menuju lorong waktu yang penuh dengan kenangan bersama teman-teman lama. Di antara halaman-halaman diary itu, aku menuliskan cerita dan puisi, merefleksikan masa-masa di SMA, saat segalanya terasa lebih sederhana dan kebahagiaan mudah ditemukan dalam tawa bersama. Lagu yang mengalun lembut melalui headphoneku, bertanya-tanya apakah kau masih ingat namaku, apakah kau akan menyambutku dengan senyum hangat seperti dulu. Perjalanan itu bukan hanya sebuah transisi geografis, tetapi juga perjalanan kembali ke masa ketika persahabatan dan kenangan membentuk jembatan tak terlihat yang selalu menghubungkanku dengan masa lalu yang indah.


Pagi itu, ketika cahaya mentari pertama menembus tirai jendela kereta yang meluncur dari Bali menuju Jakarta, Aku menatap keluar dengan pikiran yang melayang jauh. Di genggamanku, sebuah buku harian lusuh—saksi bisu atas segala rasa, pikir, dan kenangan yang pernah tertoreh di halamannya selama aku menuntut ilmu di pulau dewata itu.

Aku, seorang mahasiswa yang sedang mengejar mimpi di Bali, kini dalam perjalanan pulang. Bukan sekadar pulang ke rumah, tapi juga kembali ke masa lalu, ke sebuah masa dimana aku dan temanku, sahabat lamaku, menghabiskan hari-hari dengan tawa yang tak pernah lekang oleh waktu.

Di setiap halaman diary, aku menulis tidak hanya tentang perjuanganku di tanah rantau, tetapi juga puisi dan cerpen yang lahir dari rindu pada teman-temanku di Jakarta, terutama sahabat karibku. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, yang kini hanya bisa aku sapa melalui kenangan.

Kereta terus melaju, membawaku semakin dekat dengan Jakarta, dan semakin dalam pula aku tenggelam dalam kenangan. Lirik lagu yang mengalun lembut dari headphone-ku, “Jika kereta datang menjemput, akankah kau hadir untuk menyambut?” seakan menjadi pertanyaan yang terus menggema dalam benakku. Apakah pertemuan nanti akan seperti pertemuan-pertemuan di masa lalu?
“Masih ingatkah kau namaku?”, tulisku mengakhiri cerita.

Ketika kereta akhirnya memasuki stasiun Pasar Senen – Jakarta, jantungku berdebar kencang. Aku melangkah turun dari kereta, mata memindai kerumunan orang, mencari sosok familiar yang mungkin juga sedang mencariku.

Dan di sana, di antara lautan manusia, mataku bertemu dengan sosok yang tak asing lagi. Sahabat karibku, dengan senyumnya yang selalu bisa membuat hatiku hangat. Kami berlari ke arah satu sama lain, tidak peduli dengan pandangan orang sekitar. Pelukan erat yang kami bagi, seolah ingin menggantikan semua waktu yang telah berlalu tanpa kehadiran masing-masing.

“Tentu saja aku ingat, bagaimana mungkin aku lupa?” bisik sahabat karibku, menjawab semua pertanyaan yang sempat berkecamuk dalam hatiku.

Di sebuah kedai kopi tua di sudut kota, kami duduk berhadapan, berbagi cerita dan tawa, seakan waktu tak pernah memisahkan kami. Aku menyadari, meski aku telah menjelajah dan bertemu banyak teman baru, tak ada yang bisa menggantikan tempat sahabat karibku di hati.

Cerpen dan puisi yang pernah aku tulis dalam perjalanan, kini menjadi nyata. Persahabatan bukan hanya sekedar rangkaian kata, melainkan jembatan yang telah membawaku kembali ke pelukan persahabatan yang tak lekang oleh waktu.

Dan saat hari mulai gelap, kami berjanji, tidak lagi ada perpisahan yang akan menghentikan langkah kami. Karena dalam perjalanan hidup ini, pertemanan adalah jejak langkah yang tak pernah hilang, meski diuji oleh jarak dan waktu.

#ruangsempitimajinasi | Stasiun Banyuwangi Baru, Desember 2002