Pagi yang menyebalkan, seperti Tawon Sumbang yang terus mendengung dengan sangat mengganggu. Meski langit cerah, energi yang kutangkap begitu negatif. Temanku, tiap pagi mengoceh seperti burung cucakrowo dari hal sepele yang sepertinya tak perlu didengar oleh orang lain, bahkan sampai membahas politik yang kurasa kurang tepat untuk disampaikan.

Saat masuk dalam periode penjualan, dengung sumbangnya semakin menggema, kadang-kadang hingga membuat telinga terasa sakit. Dalam benakku, aku hanya berharap ada tepokkan nyamuk yang dapat kutepukkan ke mulutnya yang mengeluarkan kata-kata tidak menyenangkan itu. Mulutnya sangat bau, dan dari situ hanya keluhan yang terus mengalir, seakan-akan seperti orang yang mengidap penyakit ayan dengan mulut berbusa-busa.

Dari mulut berbusa itu terdengar suaranya, “Dulu waktu kecil, aku selalu bermasalah mengurusi uang, sampai bapakku marah,” lanjutnya, “sekarang aku malah disuruh ngurusi uang.” Kesal dengan monolognya yang terus menerus selama minggu ini, aku tak kuasa lagi dan menyahut, “Kalau saya Pak, bekerja tanpa dibayar itu benar-benar menyebalkan.”

Dia pun menimpali, “Kalau saya Pak, selalu berkorban seperti di lingkungan, menjadi ketua lingkungan. Jika tidak ada dana, maka saya akan membantu. Saya ingatkan juga ke yang saya bantu untuk tidak memberitahukan kepada orang lain.” Padahal dia sedang menyampaikan perilakunya ke aku, saat ini. Meski suaranya terus menggema, apa yang ia katakan terasa seperti upaya membungkus diri dengan citra berkorban.

Mulut yang tak sedap, hati yang kelam, dan selalu mengklaim bahwa dirinya banyak berkorban, menciptakan kontrast yang mencolok.

Abel Petrus, 020224

Tangerang Selatan

Leave a comment