“Lamakah aku pergi
hingga tak sadar rambutmu makin memutih”

Akankah Jakarta tetap menjadi tempat di mana aku bisa menjelajah waktu, melintasi jalan yang ramai, dan gedung-gedung yang menjulang mencakar langit?

Pada suatu pagi di tahun 2001, angin berhembus sepoi di terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Aku hendak berangkat ke Bali untuk melanjutkan studiku, ditemani oleh kedua orang tuaku di terminal Lebak Bulus. Ibuku, dengan mata berkaca-kaca, memberikan nasihat yang tidak akan pernah aku lupakan, “Nak, kamu sendiri di sana. Tidak punya saudara, tidak ada ibu yang membangunkanmu pagi hari untuk berangkat sekolah, membuat sarapan dan bekal sekolah. Kamu harus bisa bertanggung jawab di sana. Ingat, bertemanlah dengan siapapun, jaga hubungan baik agar jalanmu pun juga baik.” Aku mengangguk, “Kenapa ibu bilang gitu, aku kan jadi sedih, dan aku juga khawatir tidak bisa bangun pagi, tapi ibu kan udah beliin aku jam alarm, agar aku bisa bangun pagi dan berangkat kuliah tepat waktu. Selain itu Ibu dan Bapak juga sudah mengajarkan aku untuk bertanggungjawab, jujur, dan pastinya bisa menerima siapapun sebagai teman. Bawa aku dalam doa Ibu, terima kasih.” Janji itu kutanam dalam hati untuk selalu bertanggung jawab, jujur, dan dapat menerima siapapun.

Terlihat bapakku duduk terdiam sambil memandangi bus-bus yang berlalu-lalang, matanya seperti menerawang menahan haru, anaknya dapat kuliah, namun jauh darinya. Aku tak berani menyapanya, bahkan pamitanpun aku takut.

Saat bus yang akan membawaku ke Bali tiba, aku menaikinya, sambil melambaikan tangan kepada orang tuaku. Ibu sambil memegang sapu tangannya menangis dan melambai-lambaikan tangan ke arahku, sementara bapakku, seorang sosok yang selalu terlihat tegar, kali ini pun tidak berbeda. Namun, matanya seolah menyimpan beban dan keharuan yang dalam, sebuah perasaan yang dia pilih untuk ia simpan sendiri. Aku menaiki bus, melambaikan tangan kepada mereka, sambil membathin, “Semoga bapak dan ibu sehat-sehat saja, Tuhan jaga mereka hingga aku membawa gelar sarjanaku nanti, dan membanggakannya.” Bus melaju, aku duduk di dalam bus, menahan air mata memandangi terus ke arah mereka, semakin menjauh, semakin tak terlihat. Aku terus membayangkan kedua orang tua yang kini jauh di belakang, tak tertahan deras air mataku jatuh di pipi.

Tiba di Bali, aku berjumpa dengan kakak kelasku sewaktu di SMP, ia menjemputku di terminal Ubung, Denpasar. Mengantarku ke kos-kosannya, hingga keesokkannya ia membantuku mencarikan kos-kosan. Ketika di kos-kosan, aku masih merasa kesepian, yang kuingat hanya ibu, yang selalu mengasihiku, membantuku dalam kesusahan. Teman curhat terbaikku tidak ada. Lagi, aku menitikkan air mata. Hingga pada suatu hari, seminggu aku di Bali, aku mengalami homesick yang parah, sempat ingin pulang tanpa memberitahu orang tuaku. Namun, keberanian itu terkalahkan dengan rasa sayangku pada mereka, mengingat harapan mereka terhadap diriku, akupun menelepon ibu, bercerita tentang rasa sepiku dan meminta untuk pulang ke rumah. Pada awalnya ibu hanya diam, tidak menjawab apa yang aku inginkan, namun tiba-tiba ia berkata dengan keras, “Kamu akan menyesal seumur hidupmu, jangankan sampai di rumah, ketika kakimu baru saja menginjakkan tanah di Jawa, maka akan hilang masa depanmu!” Aku tidak dapat menahan tangis, tapi kata-kata ibu menjadi kekuatan bagiku untuk bertahan.


Selama di Bali, aku tidak hanya menuntut ilmu tetapi juga bekerja. Hingga suatu ketika aku bertemu dengan seorang gadis Bali yang luar biasa, yang kemudian menjadi istriku. Bersama, kami membangun kehidupan yang penuh dengan cinta, berbagi suka dan duka, yang pada akhirnya mengantarkan kami pada pembentukan sebuah keluarga kecil yang membahagiakan.

15 tahun berlalu, ibu memintaku pulang, ia ingin ditemaniku di masa tuanya, karena bapak sudah tidak ada. Permintaan itu aku penuhi, aku ke Jakarta tidak hanya membawa gelar sarjana, tetapi juga keluarga kecilku; sebuah hadiah terindah untuk orang tuaku, tapi bapak… hanya bisa melihat dari surga. Aku menyadari betapa banyak cerita dan waktu yang telah terlewatkan, namun hatiku selalu merasa dekat dengan mereka.

“Lamakah aku pergi
hingga tak sadar rambutmu makin memutih
banyak waktuku terbuang rugi.
Lamakah aku pergi
hingga tak sadar beribu kisah ingin kubagi…”

Lagu “Ku Kan Pulang” mengalun, mengiringi langkahku kembali ke tanah kenangan, membawa cerita dan keindahan dunia dalam genggaman. Aku tahu, masa depan ditentukan oleh apa yang kuperbuat sekarang. Kukorbankan segalanya yang ada di Bali demi kasihku pada ibu, yang ingin selalu kubahagiakan.

“Pulang ke rumah, pulang ke hati,” gumamku, sambil menatap langit Jakarta yang berwarna senja, disisiku ada istri yang sangat kucintai memeluk erat lenganku, sambil menggendong si cantik yang lucu belum mengerti perjalananku. Di sana, dalam kehangatan keluarga, aku menemukan arti sejati pulang.

Cerita ini, tentang perjalananku melintasi waktu dan cinta di tanah Bali, menunjukkan betapa pentingnya cinta, pengorbanan, dan janji untuk selalu pulang, membawa lebih banyak cerita, dan menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai jembatan yang menghubungkan masa laluku dengan masa depan.

#ruangsempitimajinasi, 14 Juli 2016