Pandemi memutus perjumpaan

Udara pagi di kota kala itu masih tercemar karbondioksida, perjalananku dengan kendaraan bermotor meninggalkan jejak polusi udara, yang menjadi rutinitas terhirup olehku dan warga kota setiap hari. Pagi itu di bulan Maret 2020 aku menelusuri jalan raya menuju sekolah sambil terngiang-ngiang desas-desus COVID-19 dan rasa khawatir terpapar virus yang membahayakan kesehatan.

Meski dengan kekhawatiran baru, semua berjalan seperti biasa, jalan-jalan selalu padat dengan keriuhan di pagi hari.  Begitu pula yang terjadi di lingkungan sekolah tempatku mengajar, kesibukan pagi dan kendaraan yang selalu ramai berbondong-bondong mengantarkan anak-anak ke lingkungan sekolah. Meski sudah menyebar desas-desus orang yang terpapar COVID-19 semakin meningkat, tetapi belum juga terlihat orang menggunakan masker.

Tiba-tiba di hari itu, 16 Maret 2020 siswa-siswi di sekolah tempat aku mengajar dipulangkan secara mendadak. Aku bingung apa yang terjadi, sangat tragis sekali dan mengejutkan warga sekolah.

Suster kepala pada pukul 06.30 sudah berdiri dengan tegar di gerbang sekolah, aku dan guru-guru lain berlari dengan sigap menghalau kendaran-kendaraan yang ditumpangi siswa-siswi masuk ke sekolah untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku mendengar dengan jelas, Suster berteriak dengan lantang menyerukan kepada siswa-siswi di depan gerbang, “Pulang… pulang… Jaga kesehatanmu dan belajar dari rumah!!!”.

Aku berlari menuju jalan di depan sekolah, menghalau setiap kendaraan yang masuk mengantar anak-anak sekolah, kata salah satu guru kudengar jelas di sampingku, “Pulang saja nanti akan ada informasi dari wali kelas masing-masing melalui WhatsApp!!!”.

Reaksi anak pun beragam, ada yang menyambut gembira karena film Doraemon yang mereka saksikan di youtube, meskipun sebenarnya telah tayang 10 tahun lalu tentang belajar dari rumah terwujud, mereka kini tanpa perlu bangun pagi-pagi, mandi, berpakaian, sarapan, dan berjibaku berangkat sekolah di tengah kemacetan kota, kutemukan itu pada update story Instagram, “Yeay…. Aku seperti Nobita, tak perlu berangkat sekolah, cukup belajar dari rumah.” Tetapi ada juga siswa yang merasa kecewa, karena tidak bisa lagi berjumpa dengan guru, atau teman-teman lain untuk bersosialisasi, salah satu siswa dari dalam mobilnya berteriak, “Yah… ga bisa ketemu teman-teman dong Pak…”. Kami guru tak dapat berkata-kata, hanya mampu melambaikan tangan dan menghela nafas panjang di dalam carut marut pandemi.

Pada hari berikutnya, aku masih melakukan rutinitas pagi berangkat bekerja menuju sekolah, dalam hati membatin, “ada hal yang positif dengan adanya pandemi COVID-19, kuamati kesibukan kota yang biasanya teracuni karbondioksida perlahan membaik terganti dengan udara yang lebih segar.”

Sambil menarik dan menghela nafas panjang, aku bergumam, “hhhhssss… Aku tak lagi menghirup polusi udara karena kendaraan.” Kendaraan-kendaraan bermotor mulai jarang terlihat, sepi hampir seperti kota mati, menepis jejak karbon rutinitas kota, udara menjadi lebih segar. Namun banyak pekerja ataupun pedagang yang kehilangan kesempatannya mengais rezeki. Melintas pada linimasa Facebookku, salah satu temanku update status, “Kleee…. Makan apa anak istriku, dirumahkan tanpa gaji!!! Naskleng!!!”

Banyak penderitaan melintas di linimasa media sosial, sama sepertiku sebagai guru yang biasa mendidik melalui perjumpaan, merasa mendapatkan tantangan yang sangat berat. Dimana aku harus beradaptasi dengan cara-cara baru dalam mengajar dan mendidik anak-anak, yaitu menggunakan teknologi dan informasi. Kekhawatiran-kekhawatiran itu memaksaku beradaptasi pada peradaban yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan, pendidikan dilakukan secara online sambil memakai masker dan menjaga jarak antar rekan guru, mereka seperti musuh dalam selimut. Kami wajib melindungi diri dengan social distancing. Aku phobia berjumpa dengan orang, sementara pekerjaan terasa makin sulit, siswa belajar dari rumah, sementara aku dan guru lain mengajar dari sekolah. Norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan dalam lembaga pendidikan yang biasanya merata sesuai kurikulum, kini mereka dididik dengan norma-norma masing-masing keluarga, dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-beda.

“Ya… aku adalah guru pendatang pada peradaban baru ini, semua sangat berubah, asing dan tak pernah terbayangkan. Tuhan mengapa ini terjadi? Tolong bimbing aku!!!”, doa di pagi itu dengan keluh kesah kutumpahkan kepada Tuhan. Dari awal ketika aku menjadi pendidik selalu melakukan pendekatan secara langsung melalui perjumpaan, kini aku berhadapan dengan teknologi dan informasi, siswa hanya berbentuk kotak-kotak di hadapan laptop tanpa ekspresi yang menghangatkan, terkadang hanya terlihat sebagian kepala hingga ke rambut.

Aplikasi Zoom menjadi pilihan untuk melakukan kegiatan belajar dan mengajar, setiap 40 menit tetiba terputus, kemudian memulai kembali pembelajaran jarak jauh, sambil meneguhkan siswaku yang merasa kecewa karena putus-nyambung putus-nyambung seperti LDR tanpa komitmen. Batinku menjerit, “Pandemi memutus perjumpaan.”

Gagap teknologi menjadi meraba-raba, harus seperti apa pendidikan ini berjalan?

Setiap jam bahkan selama 24 jam 6 hari, aku harus berjibaku belajar menguasai teknologi dalam kegiatan belajar mengajar, bertukar kemampuan dalam menggunakan teknologi dan informasi untuk memberikan materi dan juga menguji kompetensi siswa, belajar berkolaborasi dengan guru-guru lain. Searching tutorial-tutorial untuk melatih diri dalam kegalauan aku berkata pada teman dalam suatu ruang, “Dengan kemampuan yang terbatas ini, kita hanya memikirkan bagaimana menggunakan teknologi dan informasi, bukan lagi mencari strategi dalam mendidik karakter anak-anak yang dititipkan pada kita.”

Tantangan pandemi bagi diriku sebagai guru pendatang baru di peradaban serba online ini sangat menyulitkan hidupku, mematahkan semangatku sebagai guru. Aku tidak lagi mendapatkan energi positif yang didapatkan dalam perjumpaan bersama anak-anak didikku di dalam kelas. Keseruan mereka dalam belajar, canda tawa mereka saat istirahat, semua senyap dalam keheningan. Semua dihadapi di depan laptop atau device yang dingin dan kaku.

Wajah anak-anak hanya terlihat sebagian, bahkan ada yang offcam. Entah apa yang dilakukan oleh anak-anak didikku yang berada di seberang sana? Sepertinya mereka ada di hadapan kamera. Apakah mereka memperhatikan dan ikut terlibat dalam pembelajaran? Segala aktivitas diterapkan dalam pembelajaran, hingga suatu hari, aku membesarkan volume suara pada aplikasi Zoom Meeting, lalu memanggil-manggil peserta didikku, “Jovita… Jovita… apakah kamu masih disana?!”.

Abel Petrus

19 September 2020

Leave a comment