INDEPENDEN VARIABEL BEBAS: Antara Politik (Kekuasaan) dan Agama

Petrus Haryo Sabtono
Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar (ISD)
Universitas Udayana

 Politik dan AgamaAgama merupakan kebutuhan manusia yang sangat sakral. Agama juga sebagai suatu keyakinan manusia yang percaya akan adanya Tuhan, manusia juga percaya bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta ini dan juga agama membawa manusia ke jalan yang benar, karena di dalam ajaran agama itu ada suatu ajaran yang memupuk  agar manusia saling mencintai dan saling mengasihi antara sesama manusia, begitu pula agama dapat mengatur hubungan baik antara manusia dengan Penciptanya. Akan tetapi manusia juga menyalahartikan ajaran agama yang ditafsirkan secara harafiah ditengah keinginan kuat masyarakat untuk kembali kepada ajaran agama, sehingga muncullah suatu pandangan yang fundamental.

Bila agama dihubungkan dengan kekuasaan/politik, maka dapat menimbulkan masalah sosial yang sangat membahayakan umat manusia. Seperti padahalnya suatu teori yang menyatakan, bahwa “agama bukan merupakan independen variabel bebas yang menentukan kearah mana agama berjalan”. Teori tersebut dapat dikatakan benar karena didalam kehidupan manusia, sebab manusia memiliki hasrat atau ambisi yang kuat untuk dapat berkuasa dan dapat menjatuhkan lawan. Manusia untuk mencapai ambisinya atau cita-citanya akan mengatasnamakan agama untuk berkuasa atau untuk menjatuhkan lawan dengan cara menarik simpatisan atau pendukung melalui atau pendukung  melalui agam itu sendiri. Contoh beberapa partai politik, dengan membawa atau mengatasnamakan agama maupun memakai lambang suatu agama tertentu, dengan bermaksud untuk menarik simpatisan. Contoh lainnya tragedi 11 September 2001 yang menelan banyak korban nyawa dengan hancurnya menara kembar WTC dan Pentagon. Adanya tragedi tersebut dapat diamati adanya hubungan antara agama dengan kekuasaan yang sesuai dengan teori tersebut di atas. Kita dapat melihat dari pihak Amerika Serikat yang menginginkan bantuan, partisipasi atau dukungan dengan dalih memberantas terorisme yang juga disisipi kekuasaan politik yang dihubungkan dengan agama. Ini dapat dibuktikan dengan mengamati Amerika Serikat yang meminta dukungan/partisipasi kepada negara-negara yang penduduknya mayoritas menganut agama yang sama dengan penduduk di Amerika Serikat. Ini tentu bertujuan untuk menghancurkan Osama Bin Laden. Begitu juga dari pihak Osama Bin Laden, walaupun tidak secara langsung mereka menginginkan bantuan dari negara lain yang mayoritas penduduknya menganut agama yang sama dengan Osama Bin Laden. Karena pandangan fundamental yang sama dan merasa memiliki kesamaan nasib, maka mereka merasa terpanggil untuk membantu Osama Bin Laden dengan ambisi untuk menjatuhkan lawannya yang adi kuasa.

Jadi, teori di atas dinyatakan sesuai dan benar, kekuasaan dapat menentukan kearah mana agama berjalan, tetapi teori tersebut juga dapat dikatakan salah karena kembali lagi kepada individu masing-masing yang mengerti apa arti agama dan politik itu sendiri dan tidak berpandangan yang fundamental, jadi manusia itu sendiri mengartikan agama adalah jalan yang diberikan oleh Tuhan untuk menuju kepada jalan kebenaran, selain itu sebagai suatu disiplin ilmu dalam artian seperti apa yang dikatakan di atas tidak berpandangan yang fundamental, jadi manusia itu sendiri harus mempelajari semua disiplin ilmu atau agama, dalam artian bukan untuk membandingkan disiplin ilmu maupun agama tersebut atau menggabungkan menjadi suatu aliran, melainkan dipahami makna-makna yang tersirat di dalamnya. Contoh, para martir (orang yang rela mati demi membela Tuhan) mereka dijadikan sebagai budak atau pembantu yang tinggal dalam suatu lingkup kekuasaan yang kafir, budak tersebut percaya terhadap Tuhan, sehingga menganut salah satu agama dan menjalani perintah-perintah agama dan juga menjauhi larangan-larangannya, lalu pada suatu saat majikannya mengetahui budaknya menganut agama atau percaya terhadap Tuhan dan majikannya pun marah. Tetapi kemarahannya ini dituangkan dalam memberikan suatu pilihan yang ditujukan kepada budak tersebut. dua pilihan tersebut, yaitu pertama kamu ingin tetap dijalanmu, percaya terhadap Tuhan dan kamu mati atau yang kedua kamu ingin jabatan dan kekuasaan yang tinggi dan kamu dapat hidup senang. Lalu budak tersebut memilih pilihan yang pertama, yaitu kamu ingin tetap dijalanmu, percaya terhadap Tuhan dan kamu mati. Karena budak ini saatlah taat terhadap Tuhan, dia lebih mementingkan agama daripada kekuasaan. Budak ini beranggapan kekuasaan adalah sesuatu yang bersifat sementara. Dalam agama lain pun ada istilah Jihad, dimana orang rela mati demi membela agamanya dengan harapan masuk surga. Apa yang dimaksudkan disini bukanlah yang dalam istilah Jawa, yaitu yang dikenal “nrimo” nasib tanpa usaha untuk merubahnya. Akan tetapi bagaimana kita dapat menjadikan agama sebagai penentu arah kekuasaan bukan kekuasaan sebagai penentu kearah mana agama berjalan. Contoh kongkret lainnya, seperti seorang aktivis mahasiswa yang mengerti akan arti politik dan agama, sehingga seorang aktivis itu bisa memilah-milah yang mana kepentingan politik dan yang mana kepentingan agama.

Jadi, teori yang mengatakan, bahwa “agama bukan merupakan independen variabel bebas yang menentukan kearah mana agama berjalan”, bukan hanya kekuasaan semata yang menentukan kearah mana agama berjalan, akan tetapi agama juga dapat menentukan kearah mana kekuasaan itu berjalan. Walaupun demikian politik dan agama bial disatukan dapat mengakibatkan permasalahan sosial yang sangat fatal.

Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan copy dimana saja dan mohon kerelaannya untuk mencantumkan link berikut ini: https://abelpetrus.wordpress.com/history/independen-variabel-bebas-antara-politik-kekuasaan-dan-agama/

Leave a comment