Ketika aku memulai perkuliahan di kampus Sastra Universitas Udayana, aku bertemu dengan cinta pertamaku. Ia pertama kulihat ketika mendaraskan doa Tri Sandhya, saat mengawali kegiatan Perkenalan Lingkungan Kampus. Pertemuan itu berlanjut ketika kami beristirahat, aku menghampirinya dipojokkan kantin, aku memperkenalkan diriku dan aku bertanya kepadanya tentang doa yang tadi pagi ia daraskan. Ia bercerita tentang doa tersebut, Tri Sandhya adalah sebuah mantra atau doa yang biasa dibaca oleh kami umat Hindu di Indonesia, terutama di Bali, pada waktu-waktu tertentu dalam sehari. Doa ini terdiri dari tiga bagian yang masing-masing memiliki makna dan tujuan yang berbeda.

Membathin dalam hening, sambil memandanginya dari belakang menuju kelas. Ia adalah seorang wanita yang sangat istimewa bagiku. Dia memiliki kepribadian yang lembut, cantik, manis dan memiliki kepercayaan yang kuat pada Tuhan. Setiap kali aku melihatnya, aku selalu merasa terpesona oleh kecantikannya yang memancarkan kedamaian dan kebaikan.

Aku kembali melihatnya membaca mantra Tri Sandhya, ia sedang duduk di atas hamparan rumput hijau dan bersujud untuk berdoa. Aku merasa sangat terkesan oleh ketulusan hatinya yang memohon kepada Tuhan untuk memberikan keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan bagi dirinya dan teman-temannya dalam kegiatan Bakti Sosial di Desa Bebandem Karangasem, Bali.

Aku melihatnya memulai doanya dengan membaca mantra Tri Sandhya yang merupakan doa untuk memohon perlindungan dan berkat dari Tuhan. Suara suaranya begitu lembut dan penuh ketulusan sehingga aku merasa sangat terenyuh dan tertarik untuk mendengarkan doanya sampai selesai.

Ketika dia selesai berdoa, dia bangkit dari duduknya dan tersenyum padaku. Kami saling bertatapan dan aku merasa bahwa wajahnya bersinar dengan kebahagiaan dan kedamaian yang luar biasa.

Dari saat itu, aku menjadi semakin mencintainya dan menghormati kepercayaan dan kekuatan imannya. Aku belajar bahwa meskipun hidup bisa menjadi sulit, doa dan keyakinan pada Tuhan dapat memberikan kekuatan dan harapan dalam menjalani kehidupan.

Setelah melalui berbagai kegiatan sebagai mahasiswa baru, kami bertemu di kelas yang sama dan kami saling tertarik satu sama lain. Setelah saling mengenal, kami mulai berpacaran dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Namun, hubungan kami menjadi rumit ketika aku harus pergi ke luar kota untuk menempuh tahun kedua kuliahku. Aku tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar telepon, sehingga aku tidak bisa menelponnya sebanyak yang aku inginkan. Dia selalu menunggu teleponku hingga larut malam, bahkan pernah hingga pukul 4 pagi.

Perjalanan cinta kami kandas, hanya bertahan satu tahun. Kami akhirnya putus karena perbedaan pandangan dan cita-cita. Meskipun aku sangat sedih, aku merasa bahwa keputusan itu adalah yang terbaik untuk kami berdua. Disamping itu, ada perbedaan keyakinan yang harus kami pertahankan. Ia adalah anak perempuan Bali yang tidak memiliki saudara laki-laki, maka ia harus menikahi laki-laki yang akan ikut di dalam adat-istiadatnya, atau yang disebut Nyentana.

Nyentana adalah istilah dalam perkawinan adat di Bali dimana mempelai laki–laki tinggal di rumah mempelai perempuan dan statusnya sebagai status pradana berstatus perempuan pada perkawinan bisa—pihak perempuan ke rumah laki-laki) mempelai perempuan di rumah istrinya. Atau, dapat dikatakan bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status Purusa menjadi Pradana. Jadi, mempelai wanita sebagai Purusa sedangkan mempelai pria sebagai Pradana.

Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat rumit karena perkawinan bukan hanya menyangkut ikatan antara seorang pria dengan wanita yang akan dinikahinya. Tetapi, lebih dari itu perkawinan adalah hubungan yang sangat sakral karena menyangkut soal kepercayaan kepada Tuhan yang melibatkan keluarga, masyarakat adat di tempat mempelai melangsungkan perkawinan. Setelah menjadi hubungan suami-istri menjadi krama (masayarakat) adat.

Hidup dalam kesendirian, tetap kujalani. Setelah aku lulus kuliah, aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat baik hati dan perhatian. Dia adalah jodoh yang tepat untukku, dan kami saling mendukung dalam segala hal. Kami memiliki banyak kesamaan dan kami memiliki pandangan yang sama tentang masa depan.

Meskipun aku masih terkadang teringat dengan cinta pertamaku, aku tahu bahwa aku telah menemukan jodoh yang baik hati dan tepat untukku. Aku bersyukur karena telah menemukan seseorang yang sangat mencintaiku dan selalu mendukungku dalam segala hal.

Abel Petrus
Denpasar, 28 Januari 2007